12 October 2023
PEPADHANG QOLBU Volume 20
Malu adalah Bagian dari Iman
(Kitab Iman, Bab 14)
Kontributor: A. Choiran Marzuki
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الْإِيمَانِ.
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Malik bin Anas, dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdullah dari bapaknya, bahwa Rasulullah saw berjalan melewati seorang sahabat Anshar yang saat itu sedang memberi pengarahan saudaranya tentang malu. Maka Rasulullah saw bersabda, “Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya malu adalah bagian dari iman.” (HR. Bukhari)
Ulasan Hadis
Dalam hadis ini, kita mendapatkan pengajaran yang berharga mengenai sifat malu dan hubungannya dengan keimanan. Sifat malu telah dibahas sebelumnya dalam konteks iman, namun pembahasan ini disajikan dengan sanad yang berbeda, menunjukkan pentingnya menjadikan sifat malu sebagai fokus yang terpisah dalam pemahaman kita.
Riwayat ini melibatkan seorang sahabat Anshar yang memberikan nasihat tentang malu kepada saudaranya. Namun, Rasulullah saw menghentikan nasihat tersebut dan menjelaskan bahwa malu adalah bagian yang tak terpisahkan dari keimanan.
Dalam penjelasan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, disebutkan bahwa salah satu pendapat mengenai kata “يَعِظُ” (memberi nasihat) adalah bahwa orang tersebut mencela sifat malu yang dimiliki oleh saudaranya. Dalam hal ini, sahabat tersebut mencela dan mengkritik sifat malu yang dimiliki oleh saudaranya, seolah-olah menganggapnya sebagai sifat yang merugikan.
Namun, perlu dicatat bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai lafazh yang tepat dalam hadis ini, apakah itu “يَعِظُ” (memberi nasihat) atau “عَاتِب” (mencela). Beberapa perawi hadis menyebutkan keduanya, dengan keyakinan bahwa salah satu di antaranya dapat mewakili makna yang lain.
Dalam konteks ini, Rasulullah saw memberikan nasihat kepada sahabat tersebut agar tetap mempertahankan akhlak yang terpuji, karena sifat malu adalah bagian integral dari iman. Jika sifat malu menghalangi seseorang untuk menuntut haknya, maka ia akan diberi pahala sesuai dengan hak yang ditinggalkannya itu.
Dalam penafsiran Ibnu Qutaibah, sifat malu dapat mencegah dan menghindarkan seseorang dari melakukan kemaksiatan, sama seperti iman. Oleh karena itu, sifat malu disebut sebagai iman, karena dalam hal ini, malu berfungsi sebagai penghalang yang kuat terhadap perbuatan yang memalukan. Sifat malu juga membedakan manusia dari binatang.
Malu merupakan gabungan dari sifat takut dan ‘iffah (menjaga kesucian diri). Dengan demikian, seseorang yang malu bukanlah seseorang yang lemah, tetapi orang yang memiliki kualitas keberanian yang sejati. Dalam beberapa konteks, sifat malu juga berarti menahan diri secara mutlak, karena takut melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syari’at, akal, atau adat kebiasaan.
Sebagai catatan penting, jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang oleh syari’at, maka ia termasuk dalam kategori orang yang fasik. Jika ia melakukan hal yang bertentangan dengan akal, maka ia termasuk dalam kategori orang yang tidak waras. Sedangkan jika ia melakukan hal yang bertentangan dengan adat kebiasaan, maka ia termasuk dalam kategori orang yang bodoh. Oleh karena itu, pernyataan Rasulullah saw, “Malu adalah bagian dari iman,” mengandung arti bahwa malu adalah salah satu hasil atau pengaruh dari keimanan.
Dalam konteks sosial saat ini, penting bagi kita untuk menghargai dan memperkaya pemahaman kita tentang sifat malu. Malu merupakan nilai yang sangat berharga dalam masyarakat yang sering kali dihadapkan pada tekanan moral dan godaan yang berlebihan. Sifat malu dapat membantu kita mempertahankan integritas moral dan menjaga kesucian diri dalam menghadapi situasi yang menantang.
Selain itu, kontekstualisasi hadis ini dalam realitas sosial saat ini dapat mengingatkan kita tentang pentingnya mengembangkan sifat malu dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam perilaku online. Dalam era digital yang semakin berkembang, kita harus tetap sadar akan dampak dari tindakan kita di dunia maya dan memiliki rasa malu yang sehat dalam menjaga etika dan moralitas.
Dalam rangka memperkaya pemahaman pembaca, kita juga dapat menambahkan contoh-contoh praktis tentang bagaimana sifat malu dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, menghormati privasi orang lain, menghindari gosip yang merugikan, atau menghormati batasan-batasan dalam hubungan antara pria dan wanita. Dengan mengilustrasikan konsep ini dalam situasi nyata, pembaca dapat lebih mudah mengaitkan dan menerapkan nilai-nilai malu dalam kehidupan mereka sendiri.
Hikmah dan Inspirasi
Hadis ini mengandung banyak hikmah dan inspirasi yang dapat kita ambil untuk meningkatkan keimanan dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Berikut adalah beberapa hikmah dan inspirasi yang dapat kita peroleh dari hadis ini:
1. Pentingnya Menjaga Akhlak
Hadis ini menggarisbawahi pentingnya menjaga akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Sifat malu adalah salah satu aspek dari akhlak yang terpuji, yang membantu kita menjaga integritas dan kesucian diri dalam berbagai situasi.
2. Menjauhi Perbuatan yang Memalukan
Sifat malu yang kuat membantu kita menjauhi perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika Islam. Dengan memiliki rasa malu yang sehat, kita akan lebih waspada terhadap tindakan-tindakan yang dapat memalukan diri kita sendiri dan mencoreng reputasi kita di hadapan Allah dan manusia.
3. Melawan Godaan dan Tekanan
Dalam dunia yang penuh dengan godaan dan tekanan moral, sifat malu membantu kita melawan godaan dan menjaga kesucian diri. Dengan menghargai nilai-nilai malu, kita akan lebih mampu menahan diri dan menghindari perilaku yang melanggar prinsip-prinsip agama.
4. Kesadaran akan Akibat Perbuatan
Hadis ini juga mengajarkan pentingnya memiliki kesadaran akan akibat dari setiap perbuatan yang kita lakukan. Sifat malu mengingatkan kita bahwa setiap tindakan kita akan memiliki konsekuensi, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, kita perlu berpikir dua kali sebelum melakukan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama dan moralitas.
5. Membedakan Diri dari Makhluk Lain
Sifat malu adalah salah satu ciri khas manusia yang membedakan kita dari makhluk lain di alam ini. Dalam mengembangkan sifat malu, kita menunjukkan bahwa kita adalah makhluk yang memiliki akal, tanggung jawab, dan kesadaran moral yang tinggi.
6. Menjaga Kesucian dalam Perilaku Online
Dalam era digital yang semakin maju, hadis ini mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga etika dan kesucian dalam perilaku online. Dengan memiliki rasa malu yang sehat, kita akan berhati-hati dalam menggunakan media sosial, berkomunikasi secara online, dan membagikan konten, sehingga kita tidak terjerumus dalam tindakan yang melanggar nilai-nilai agama dan moralitas.
Hikmah dan inspirasi ini dapat menjadi pedoman bagi kita dalam meningkatkan keimanan dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Dengan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam hadis ini, kita dapat menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab, berakhlak mulia, dan memiliki kesadaran moral yang kuat.