Berita

GUS HILMY: PENJAJAHAN EKONOMI MASIH BERLANGSUNG HINGGA SAAT INI

08 November 2021

Unduh gambar :

Setiap anak bangsa turut berjuang untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. Siapa pun punya peran. Tidak hanya yang memegang senjata, tapi juga mereka ada memasak di dapur umum, membuat karya seni propaganda, intelektual, guru, kiai, dan lain sebagainya. Maka, bangsa ini adalah bangsa yang dimiliki bersama, bukan golongan tertentu.

 

“Apa pun latar belakang kita, bangsa ini adalah milik bersama. Pada bagian inilah, kita juga menemukan konteks Bhinneka Tunggal Ika, yang mengajarkan kepada kita sebagai anak bangsa, bahwa kita harus siap hidup berdampingan dalam berbagai keragaman yang ada di tanah air kita. Bolehlah kita berbeda, tapi kita harus saling menghormati perbedaan yang ada,” terang Senator asal D.I. Yogyakarta, Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. dalam acara Training of Trainers Empat Pilar MPR RI yang dilaksanakan oleh Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI di Bekasi pada Senin (08/11) siang.

 

Merunut sejarah penjajahan bangsa ini, pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut menyampaikan bahwa jika motivasi utama penjajahan dulu adalah faktor ekonomi akibat Revolusi Industri, maka yang terjadi hari ini sebenarnya juga tidak jauh berbeda. Hari ini penjajahan ekonomi bahkan sampai jauh di pelosok-pelosok desa.

 

“Kita juga tidak percaya diri dengan produk-produk kita sendiri dan lebih senang menggunakan produk impor. Tapi mentality kita yang masih lebih suka dengan produk-produk asing. Ini yang menjadi catatan pentingnya semangat NKRI patut dinyalakan kembali,” kata Anggota Komite I DPD RI tersebut.

 

Oleh sebab itu, menurut pria yang juga anggota MUI Pusat tersebut, bangsa Indonesia perlu memiliki tujuan bersama untuk meningkatkan kepercayaan diri terhadap produk dalam negeri, sekaligus untuk memupuk persatuan bangsa.

 

“Jika dulu ada Sumpah Pemuda dan Resolusi Jihad, yang dapat menyatukan seluruh bangsa untuk bergerak bersama dengan satu tujuan, yaitu nasionalisme dan kemerdekaan, maka hari ini kita punya apa? Apakah kalimatun sawa’ yang menyatukan kita? Apakah hanya olahraga yang bisa menyatukan kita, Sea Games atau Thomas Cup. Tapi kalau perhelatannya selesai, kita kembali berbeda. Mestinya kalau kita punya tujuan bersama, kita tidak perlu menunggu musuh bersama untuk bersatu. Atau tidak perlu menunggu ada bencana besar untuk bergotong royong?” ujar anggota MPR tersebut.

 

Selain tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Gus Hilmy juga menyampaikan materi tentang Bhinneka Tunggal Ika. Menurutnya, semboyan bangsa itu menjadi tanda betapa besarnya bangsa ini.

 

“Banyak orang bicara tentang multikulturalisme, tapi kita sebagai bangsa sudah mampu mempraktikkannya, bahkan berpuluh tahun lamanya. Ini anugerah terbesar kita sebagai bangsa, di saat bangsa lain gagal mendefinisikan dirinya, dan bahkan terlibat perang saudara,” kata Gus Hilmy.

 

Dari semboyan itu pula, Gus Hilmy menyatakan bahwa bangsa ini besar karena memiliki dasar budaya yang kuat, dan keragaman yang saling menghormati. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sepatutnya tidak mudah takut dengan efek globalisasi, dampak pembangunan, dan maraknya teknologi.

 

“Yang harus benar-benar kita lakukan adalah menanamkan identitas budaya dan jati diri bangsa kepada anak-anak kita dengan cara memperkuat pendidikan agama dan penanaman moral Pancasila. Hal itu juga tidak boleh tidak harus dibarengi dengan teladan dan bimbingan kita sebagai orang tua. Dengan demikian, kita berharap, generasi muda kita juga akan tangguh sebagaimana leluhur dan nenek moyang mereka,” ujar Gus Hilmy.

 

Hadir pula pada kesempatan tersebut adalah Wakil Ketua MPR RI Prof. Dr. Ir. Fadel Muhammad, Ketua Kelompok DPD di MPR RI. Dr. Tamsil Linrung, dan Anggota DPD RI dari NTT dr. Asyera Respati Wundalero.

 

Senator asal Gorontalo tersebut menyampaikan perjalanan bangsa hingga periode Reformasi, yang salah satunya menghasilkan penghapusan TAP MPR tentang Penghayatan dan Pengamalan Pancasila karena tidak relevan lagi. Namun yang sedih ketika itu adalah penghapusan mata pelajaran Pancasila.

 

“Oleh sebab itu, diselenggarakan sosialisasi Empat Pilar MPR RI sebagai penggantinya, yang digagas oleh almarhum Taufik Kiemas, yaitu Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia 1945 serta ketetapan MPR, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempatnya merupakan nilai-nilai bangsa yang membuat bangsa Indonesia memiliki karakter,” ujar mantan Gubernur Gorontalo tersebut.

 

Tantangan dunia saat ini, menurut Fadel, adalah globalisasi dan pengaruh internet. Sayangnya, hal ini tidak diiringi dengan tindakan positif. Terdapat laporan ratusan kasus dari bidang ini, seperti pencemaran nama baik, kabar bohong, penipuan, dan lain sebagainya. Fadel mengingatkan agar seluruh bangsa Indonesia mewaspadai hal ini. (red015)


Kontributor: FMZ

BERITA LAINNYA