24 October 2021
Sebagai santri, menjadi orang baik saja tidak cukup, tetapi juga harus bermanfaat. Oleh sebab itu, Semar Badranaya bisa menjadi tokoh pewayangan yang patut dicontoh. Sikap Semar, layak dicontoh oleh para santri, para anggota IPNU-IPPNU untuk turun ke jalan, dalam arti mengambil peran di masyarakat. Tetap berada di zona nyaman tidak akan memberikan dampak apa-apa pada lingkungan. Hal inilah salah satu yang bisa dicontoh dari para ulama. Mereka berjuang dan mengambil risiko.
Hal tersebut disampaikan Pembina Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) DIY Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. pada acara Refleksi Hari Santri dan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh PW IPNU-IPPNU DIY di Gedung PWNU DIY pada Sabtu (23/10) malam.
“Mengapa Semar Badranaya lebih dipandang dan dihormati daripada saudara-saudaranya, yaitu Togog dan Bethara Guru? Tak lain karena Semar berani keluar dari zona nyamannya di Kahyangan. Semar turun ke jalan, ke keramaian untuk memperbaiki keadaan. Oleh sebab itu, ajaran Semar tak hanya tersebar luas, tapi juga membumi,” kata Gus Hilmy.
Para ulama dihormati, lanjut Gus Hilmy, bukan hanya karena kepandaian dalam ilmu agama dan kemampuan mereka mengurus pesantrennya, tapi lebih dari itu adalah karena perannya di masyarakat. Mereka dihormati karena cancut taliwondo, mau menyingsingkan lengan bajunya, turun langsung ke masyarakat.
“Dan ini tidak perlu menunggu tua, dimulai dari sekarang. Yang kita latih adalah kepedulian, kesetiakawanan sosial,” kata salah satu pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut.
Peran yang dimaksud oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tersebut adalah dengan mengambil tantangan zaman. Jika di masa awal sejarah Hari Santri hadratusy syaykh K.H. Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad untuk melawan penjajah, maka tantangan hari ini adalah pergaulan bebas, narkoba, judi online dan taruhan yg marak di kalangan pemuda, ugal-ugalan di jalan raya, dan berbagai kenakalan remaja lainnya.
Gus Hilmy mencontohkan keprihatinannya. Hari-hari ini Jogja memiliki masalah yang luar biasa. Barangkali karena berkah pandemi sehingga menjadi agak berkurang. Masalah ini juga menjadi keprihatinan para tokoh, Gubernur, Wali Kota, dan stakeholder lainnya, prihatin dan resah dengan adanya klitih. Melakukan kejahatan dengan melukai orang lain menggunakan senjata tajam atau batu, itu dibangga-banggakan dan kemudian disebarkan videonya.
“Tantangan hari ini mewajibkan kita untuk senantiasa melakukan amar ma'ruf nahi munkar, sekaligus menjadi lahan dakwah yang luar biasa bagi kita semua, utamanya bagi calon generasi kiai seperti IPNU-IPPNU. Jika perlu, IPNU-IPPNU bisa merangkul dan menjadikan pelaku klitih sebagai anggota, bukan memusuhi. Sejatinya, mereka sedang salah jalan dan perlu ditunjukkan jalan yang benar. Harapannya mereka bisa menggunakan keberanian yang dimiliki untuk hal-hal yang baik,” kata Wakil Rois Syuriah PWNU DIY tersebut.
Gus Hilmy juga menegaskan, yang disebut santri bukan hanya yang berada di pondok pesantren, melainkan siapa saja yang menjadikan kiai dan bu nyai sebagai panutan dalam kehidupan sehari-hari. Merekalah santri dan memperingati Hari Santri merupakan bentuk syukur santri sebagai murid kiai. (FMZ)